Selasa, 09 Oktober 2012

Cerpen: My Ustadz In Memorian


    “My Ustadz In Memorian”


BY:  Agus Sholihin Al-Abrar

             Aku Najam. Hari seperti biasanya aku dan Mahasantri lainnya berangkat kuliah sore. Seperti biasanya pula Ustadz Burhan selaku pengajar B. Inggris di kelas kami tak pernah telat untuk mengajar. Bahkan beliau datang tepat waktu ketimbang santrinya. Dan seperti biasanya pula ketika beliau menerangkan materi di depan kelas, tidak semua santri di kelasku yang kusyuk memperhatikan penjelasannya. Ada yang asik sms-sms-an tidak jelas, ada yang hanya coret-coret kertas entah apa yang di tulisnya. Bahkan ada yang tidur dengan pulasnya, mungkin yang di bayangkankannya pada saat itu sedang berada di kamarnya. Inilah salah satu kebiasaan yang tidak patut di tiru.
            Namun ustadz Burhan tak pernah menampakkan kemarahanya atas prilaku mahasantri-mahasantrinya ini. Termasuk diriku, ada keseriusan ketika belajar namun terkadang rasa kantuk selalu menggodaku, bagaikan seorang ibu yang mengayunkan anaknya untuk segera tidur.  Apalagi di suasana siang yang panas merayap, tak bisa di elak lagi kalau rasa kantuk itu menyergapku.  Dengan keadaan kelas yang seperti ini Ustadz Burhan tetap semangat mengajar, walau terkadang kelas tak memberikan respon semangat.  Sambil menulis materi yang di berikan, aku menepuk salah satu punggung teman di depanku yang terlihat manggut-manggutan alias ngantuk.
“ Sebaiknya anta cuci muka dulu, hilangkan ngantuk.” Kataku.
Sayang perkataanku tak di gubrisnya, ia menoleh ke arahku dengan mengernyitkan dahinya seraya menaikkan sebelah alis matanya.
            Seusai belajar entah kenapa rasa kantuk itu hilang seketika. Ustadz mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, rupanya sebuah camera digital.
“ Wahh…mau fhoto-fhoto ya ustadz?” tanyaku sambil memasukkan buku kedalam tas. Beliau hanya mengangguk senyum. Ya, kami di minta beliau untuk foto-foto bersama. Beliau bilang untuk kenang-kenangan saja. Tak ada hal yang berbeda tentu saja semua teman-teman kelasku lekas membentuk barisan siap untuk di foto. Tak heran kalau teman kelasku eksis foto layaknya model ternama. Dengan pede-nya aku ikut di barisan belakang. 1, 2,3, bahkan lebih dari dari 4 jepretan kami foto bersama. Ada hal yang menyenangkan sore itu kapan lagi kami bisa foto bareng ustadz sembari eksis dan menghilangkan ngantuk dan lelah setelah belajar.
            Malam hari…               
            Seperti malam-malam biasanya seusai sholat maghrib di masjid selalu ada  pengajian. Dan kebetulan malam ini giliran Ustadz Burhan yang mengisi pengajian. Semua Mahasantri dengan kusyuk mendengarkan walaupun ada sebagian yang tidak. Namun kami tetap kagum dengan Ustadz Burhan, dalam kondisi bagaimanapun beliau tetap semangat tuk mendidik kami. Seonggak senyuman selalu di hadiahkan kepada kami. Aku hanya diam mendengarkan pengajian, aku tak mau terlalu banyak berkata-kata.
            Malam berikutnya tiba-tiba kami mendengar kabar yang tidak baik. Ustadz Burhan di kabarkan sedang terbaring di rumah sakit karena tensi darahnya naik. Memang sebelumnya sempat terdengar kabar kalau beliau kondisi kesehatanya kurang baik, dan di ketahui tensi darahnya saat itu dalam nota bene stadium tinggi. Para medispun sempat menganjurkan kepadanya untuk banyak istirahat. Meski kondisi kesehatan yang tidak baik, tapi yang kami lihat beliau tampak sehat dan bugar tetap semangat tuk mengajar bahkan masih sempat tuk mengisi pengajian. Tak ada sedikitpun tanda-tanda kalau beliau sakit. Setelah mendengar kabar itu,  semua mahasantri mengisi malam itu dengan tahlilan mendo’akan akan kesembuhan ustadz kami.  Aku menjenguk ke rumah sakit, aku lihat Ustadz Burhan yang terbaring lemah di pembaringanya. Beberapa ustad lain dan pengurus asrama juga ada di sana. Kami hanya memanjatkan doa untuk kesembuhan beliau. Seiring doa bertabur kesedihan mengiringi. Bahkan beberapa Mahasantri tak dapat tidur dengan nyenyak, hanya doa yang di hadirkan malam itu.  Pukul 01.00 WIB dini hari di asrama, Erik salah satu temanku bangun dari tidurnya. Ridho yang melihatnya menyapa heran.
“ Anta tidak tidur?”
“ Ana tidak tahu,  seperti ada sesuatu yang membangunkan. Sejak tadi memang tidak bisa tidur.” Jawabnya.
“ Ya sudah, anta kembali tidur lagi. Bismillah saja…”
“ Ya, ana coba deh.”
            Malam dini hari di rumah sakit. Aku keluar sebentar cari air mineral.  Sekembalinya aku ke ruang dimana Ustadz Burhan di rawat, aku melihat orang-orang di ruangan sudah panik.  Aku semakin mendekat, air mineral yang kubawa jatuh dari genggamanku. Salah satu ustadz kami memegang lengan ustad Burhan yang dingin dan tak berdenyut lagi.  Ya Allah! apakah malaikat maut telah membawa pergi  ustad Burhan tanpa sepengetahuanku? Keluarga besar asrama pun berduka atas kepergian salah satu Ustadz tercinta.  Kini telah ku saksikan beliau yang telah pulang keharibaan Illahi. Malaikat maut dengan bangganya membawanya terbang ke langit. Semua yang menyaksikan mencucurkan air mata.  Aku terdiam mataku berkaca-kaca, lambat laun mengeluarkan air mata. Ya, air mata kesedihan aku tak sanggup menahanya.
            Pagi hari yang kelam, bendera kuning telah berkibar dalam kebisuan.  Angin sepoi pagi melangkah dalam penderitaan dan kedukaan.  Langitpun tampak mendung turut berduka atas kesedihannya. Roh beliau  mengucapkan selamat tinggal pada dunia, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya, ia telah bebas dari belenggu sakitnya. Apakah kami patut menyalahkan maut, atas ketidakadilannya yang telah mengambil Seorang Ustadz, sahabat sekaligus guru bagi kami.
            Tapi inilah suratan takdir yang telah terukir.
            Mungkin kami tak dapat melihat beliau lagi, namun senyumnya, kesabaran, kebaikkan serta semangatnya senantiasa menjadi terladan bagi kami. Ustadz Burhan akan segera berkunjung ke Surga Firdaus.  Amiiin….
The end

NB: Cerpen ini tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun. Cerpen ini semata-mata hanya untuk hiburan semata. Hanya bermaksud untuk mengingat kenangan yang tak mungkin terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar