BY:
Agus Sholihin Al-Abrar
Aku Najam. Hari
seperti biasanya aku dan Mahasantri lainnya berangkat kuliah sore. Seperti
biasanya pula Ustadz Burhan selaku pengajar B. Inggris di kelas kami tak pernah
telat untuk mengajar. Bahkan beliau datang tepat waktu ketimbang santrinya. Dan
seperti biasanya pula ketika beliau menerangkan materi di depan kelas, tidak semua
santri di kelasku yang kusyuk memperhatikan penjelasannya. Ada yang asik
sms-sms-an tidak jelas, ada yang hanya coret-coret kertas entah apa yang di
tulisnya. Bahkan ada yang tidur dengan pulasnya, mungkin yang di bayangkankannya
pada saat itu sedang berada di kamarnya. Inilah salah satu kebiasaan yang tidak
patut di tiru.
Namun
ustadz Burhan tak pernah menampakkan kemarahanya atas prilaku
mahasantri-mahasantrinya ini. Termasuk diriku, ada keseriusan ketika belajar
namun terkadang rasa kantuk selalu menggodaku, bagaikan seorang ibu yang
mengayunkan anaknya untuk segera tidur.
Apalagi di suasana siang yang panas merayap, tak bisa di elak lagi kalau
rasa kantuk itu menyergapku. Dengan
keadaan kelas yang seperti ini Ustadz Burhan tetap semangat mengajar, walau
terkadang kelas tak memberikan respon semangat.
Sambil menulis materi yang di berikan, aku menepuk salah satu punggung
teman di depanku yang terlihat manggut-manggutan alias ngantuk.
“ Sebaiknya anta cuci muka dulu, hilangkan
ngantuk.” Kataku.
Sayang perkataanku tak di gubrisnya, ia
menoleh ke arahku dengan mengernyitkan dahinya seraya menaikkan sebelah alis
matanya.
Seusai
belajar entah kenapa rasa kantuk itu hilang seketika. Ustadz mengeluarkan
sesuatu dari saku celananya, rupanya sebuah camera digital.
“ Wahh…mau fhoto-fhoto ya ustadz?” tanyaku
sambil memasukkan buku kedalam tas. Beliau hanya mengangguk senyum. Ya, kami di
minta beliau untuk foto-foto bersama. Beliau bilang untuk kenang-kenangan saja.
Tak ada hal yang berbeda tentu saja semua teman-teman kelasku lekas membentuk
barisan siap untuk di foto. Tak heran kalau teman kelasku eksis foto layaknya
model ternama. Dengan pede-nya aku ikut di barisan belakang. 1, 2,3, bahkan lebih
dari dari 4 jepretan kami foto bersama. Ada hal yang menyenangkan sore itu
kapan lagi kami bisa foto bareng ustadz sembari eksis dan menghilangkan ngantuk
dan lelah setelah belajar.
Malam
hari…
Seperti
malam-malam biasanya seusai sholat maghrib di masjid selalu ada pengajian. Dan kebetulan malam ini giliran
Ustadz Burhan yang mengisi pengajian. Semua Mahasantri dengan kusyuk
mendengarkan walaupun ada sebagian yang tidak. Namun kami tetap kagum dengan
Ustadz Burhan, dalam kondisi bagaimanapun beliau tetap semangat tuk mendidik kami.
Seonggak senyuman selalu di hadiahkan kepada kami. Aku hanya diam mendengarkan
pengajian, aku tak mau terlalu banyak berkata-kata.
Malam
berikutnya tiba-tiba kami mendengar kabar yang tidak baik. Ustadz Burhan di
kabarkan sedang terbaring di rumah sakit karena tensi darahnya naik. Memang
sebelumnya sempat terdengar kabar kalau beliau kondisi kesehatanya kurang baik,
dan di ketahui tensi darahnya saat itu dalam nota bene stadium tinggi. Para
medispun sempat menganjurkan kepadanya untuk banyak istirahat. Meski kondisi
kesehatan yang tidak baik, tapi yang kami lihat beliau tampak sehat dan bugar
tetap semangat tuk mengajar bahkan masih sempat tuk mengisi pengajian. Tak ada
sedikitpun tanda-tanda kalau beliau sakit. Setelah mendengar kabar itu, semua mahasantri mengisi malam itu dengan
tahlilan mendo’akan akan kesembuhan ustadz kami. Aku menjenguk ke rumah sakit, aku lihat
Ustadz Burhan yang terbaring lemah di pembaringanya. Beberapa ustad lain dan
pengurus asrama juga ada di sana. Kami hanya memanjatkan doa untuk kesembuhan
beliau. Seiring doa bertabur kesedihan mengiringi. Bahkan beberapa Mahasantri
tak dapat tidur dengan nyenyak, hanya doa yang di hadirkan malam itu. Pukul 01.00 WIB dini hari di asrama, Erik
salah satu temanku bangun dari tidurnya. Ridho yang melihatnya menyapa heran.
“ Anta tidak tidur?”
“ Ana tidak tahu, seperti ada sesuatu yang membangunkan. Sejak
tadi memang tidak bisa tidur.” Jawabnya.
“ Ya sudah, anta kembali tidur lagi. Bismillah
saja…”
“ Ya, ana coba deh.”
Malam
dini hari di rumah sakit. Aku keluar sebentar cari air mineral. Sekembalinya aku ke ruang dimana Ustadz Burhan
di rawat, aku melihat orang-orang di ruangan sudah panik. Aku semakin mendekat, air mineral yang kubawa
jatuh dari genggamanku. Salah satu ustadz kami memegang lengan ustad Burhan
yang dingin dan tak berdenyut lagi. Ya
Allah! apakah malaikat maut telah membawa pergi
ustad Burhan tanpa sepengetahuanku? Keluarga besar asrama pun berduka
atas kepergian salah satu Ustadz tercinta.
Kini telah ku saksikan beliau yang telah pulang keharibaan Illahi.
Malaikat maut dengan bangganya membawanya terbang ke langit. Semua yang
menyaksikan mencucurkan air mata. Aku
terdiam mataku berkaca-kaca, lambat laun mengeluarkan air mata. Ya, air mata
kesedihan aku tak sanggup menahanya.
Pagi
hari yang kelam, bendera kuning telah berkibar dalam kebisuan. Angin sepoi pagi melangkah dalam penderitaan
dan kedukaan. Langitpun tampak mendung
turut berduka atas kesedihannya. Roh beliau mengucapkan selamat tinggal pada dunia, ia telah
menghembuskan nafas terakhirnya, ia telah bebas dari belenggu sakitnya. Apakah
kami patut menyalahkan maut, atas ketidakadilannya yang telah mengambil Seorang
Ustadz, sahabat sekaligus guru bagi kami.
Tapi
inilah suratan takdir yang telah terukir.
Mungkin
kami tak dapat melihat beliau lagi, namun senyumnya, kesabaran, kebaikkan serta
semangatnya senantiasa menjadi terladan bagi kami. Ustadz Burhan akan segera
berkunjung ke Surga Firdaus. Amiiin….
The end
NB: Cerpen ini tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.
Cerpen ini semata-mata hanya untuk hiburan semata. Hanya bermaksud untuk
mengingat kenangan yang tak mungkin terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar